B. Sebuab kisah
tentang merebut kembali nyawa sendiri dari tangan Dewa Maut
Empat Tahun yang lalu datang-lah di
tempat Praktek Nujum-ku seorang Pemuda. Ia ber-tubuh kerempeng, wajah-nya pucat
pasi, se-pasang bola mata-nya hampir me-lotot namun tak ber-semangat.
Begitu ia melangkah masuk segera ia duduk di-atas sofa sambil
megap-megap napas-nya, tak sepatah kata keluar dari mulut-nya. Ku-pikir Orang
ini tepat-nya harus-lah ke Dokter, bukan ke Nujum, mungkin-kah ia salah alamat ?
Agak lama baru-lah ia bangun dan duduk dekat meja tulis-ku, ia mulai
bicara, tetapi aku hanya melihat bibir-nya yang ber-gerak tanpa bisa men-dengar
suara-nya. Ku-dekat-kan telinga-ku, baru-lah pelan-pelan men-dengar suara-nya
yang sangat kecil.
Ya, seorang yang benar-benar harus
di-kasihi dan mendapat simpatik. Aku benar-benar sangat simpatik pada-nya.
Mengerti-lah ia bahwa aku tidak dapat men-dengar kata-kata-nya, maka ia
mengambil kertas dan menuliskan apa yang hendak di-sampai-kan. Pertama ia ingin
menanya “Keadaan penyakit-nya”.
Dengan sungguh-sungguh ku ber-doa dan meramalkan penyakit-nya, hasil
nujum-ku ialah penyakit-nya sangat berat dan bahaya, jiwa-nya sulit di-tolong,
namun aku tak berani ber-terus terang dan hanya meng-hibur-nya bahwa di-perlu-kan
waktu lama serta teliti untuk ber-obat.
Men-dengar kata-kata-ku ia manggut-manggut
tanda mengerti, kemudian ia menulis lagi. Ternyata ia ber-nama Chang Sew Ming.
Dua tahun yang lalu ia masih merupakan seorang Pemuda yang lincah dan sehat.
Pada suatu hari bersama seorang Teman-nya ia pergi meramal nasib-nya
pada seorang Ahli Nujum kenamaan, begitu melihat-nya Ahli Nujum itu mengatakan
bahwa umur-nya tidak akan lebih dari 3 Tahun lagi.
Tatkala itu tentu ia tidak percaya dan tak menaruh perhatian atas
kata-kata itu. Tak di-duga tak lama kemudian ia menderita penyakit aneh ini, Dokter
mengatakan bahwa brochitis, Sinshe mengatakan bahwa daya tahan tubuh-nya
terluka.
Mula-mula ia merasakan agak sesak napas ketika olahraga, segala macam
obat tidak berguna, dengan cepat penyakit-nya memberat, tanpa olahraga pun
megap-megap napas-nya. Tubuh-nya dengan cepat mengurus, mata-nya celong, dalam
beberapa Bulan berubah-lah ia seperti Kakek-kakek.
Baik pengobatan Dokter maupun Tabib tidak mem-bawa-kan hasil. Segala
macam pengobatan dan obat tak berguna, bersamaan itu ekonomi nya pun mengalami
kesulitan besar sedangkan penyakit-nya ber-tambah berat, nampak-nya tinggal
tunggu ajal-nya saja.
Menghadapi keadaan sekarang ia teringat kata Peramal itu. Ia mulai
percaya soal peruntungan, karena-nya ia mem-per-lihat-kan Peh Ji-nya (Hari dan
saat lahir) pada beberapa Peramal nasib, mereka semua-nya menyatakan bahwa ia
tak akan bisa melewati Tahun ini.
Dalam keadaan putus asa ini, sukar-lah
di-lukis-kan betapa sedih hati-nya. Ia ber-siap beberapa saat lagi akan pergi
ke sebuah Pulau kosong untuk mati, agar Keluarga-nya tidak perlu mengeluarkan
uang Pemakaman lagi.
Secara kebetulan ia mendengar acara ramalan radio yang ku-asuh, di-mana
aku mem-bicara-kan persoalan memperbaiki nasib dan Hukum Karma. Hal ini
menimbulkan pemikiran-nya ingin ber-tanya, setelah mencari keterangan alamat-ku
ia datang ber-kunjung.
Ku-lihat ia sambil menulis riwayat
singkat-nya sambil mengalirkan air mata, hal ini menumbuhkan simpatik dan iba-ku
yang amat besar, diam-diam hati-ku menangis.
Tanpa sengaja teringat-lah Keng Ta Pei To Lo Ni, antara lain berbunyi :
“Banyak Umat yang sering ter-hambat oleh dosa berat, tidak melihat Para Buddha,
tidak tahu jalan, hanya mengikuti hidup dan mati, tidak tahu rahasia-nya, kini
walaupun aku mengetahui, namun ter-halang oleh dosa yang sama“, demikian-lah Manusia
dalam Dunia.
Ia mulai mengajukan pertanyaan pada-ku, pertanyaan-nya yang pertama
ialah : “Setelah mati, impas-kah segala-gala-nya bagi Manusia ?”
Dengan serius ku-jawab : “Dalam Dunia dan Alam Semesta tak ada soal yang
demikian mudah bukan ? Jika Seorang
yang ber-dosa berat, mem-bunuh, mem-bakar, me-rampok, memperkosa, menipu harta,
dan lain-lain, lalu menikmati-nya se-puas-nya, begitu saat-nya tiba dan mati,
jika lalu impas segala-nya, adil-kah Thian (Tuhan) ?
Karma yang tidak ber-wujud, bagi Kita Orang Awam sulit dapat melihat-nya.
Coba-lah Anda lihat ada-kah Orang yang kaya dengan cara licik ber-akhir baik ?
Adakah Keturunan-nya jaya ?
Asalkan Anda agak mem-per-hati-kan keadaan se-keliling, di-mana pun
dapat terjadi peristiwa “Karma di depan mata”.
Orang, baik hidup atau pun sesudah mati, pasti menerima Pengadilan
“Hukum Karma-nya”.
“Bila Orang tidak ber-buat baik maupun jahat, lalu bunuh diri apa-kah ia
ber-dosa?”.
“Umum-nya Orang saat putus asa lalu mem-bunuh diri, dosa-nya sangat
besar. Satu di-antara sebab-nya ialah Orang lahir karena Ibu dan Ayah, Orang
lahir dan hidup karena Langit dan Bumi, bunuh diri tidak saja menentang Ibu dan
Ayah, ia pun meng-khianati Alam, dosa-nya besar.
Sebab ke-dua, setiap Orang mempunyai WATAK BUDDHA, bila watak Buddha ini
dapat di-gali pasti-lah ia akan menjadi Buddha.
Bunuh diri berarti memutuskan jalan peng-gali-an watak Buddha, sama
dengan mem-bunuh Buddha, dosa-nya berat dan besar.
Jadi yang bunuh diri pasti akan mendapat Peradilan karma buruk, akan
menerima hukuman yang menyedihkan dalam Neraka.
Kecuali dalam keadaan gawat, ber-korban demi Negara atau mempertahankan
kesucian bagi Wanita, bunuh diri se-macam ini, bukan ber-dosa me-lain-kan se-balik-nya
ber-Moral”.
* * *
Dengan cara dialog aku men-jelas-kan Prinsip Hukum Karma dan cara mem-perbaiki
nasib, dan men-dorong-nya tidak pesimis, jangan mati, jangan pula menanti mati,
harus menegakkan Kepercayaan dan Tekad, dengan aktif meng-hapus dosa yang di-buat-nya
pada Masa yang lalu, ini-lah cara penyelesaian yang tuntas.
“Sisa hidup-ku tinggal sedikit, tidak ter-lambat-kah aku ?” tanya-nya.
“Terlambat atau tidak, selama masih ada napas, harus-lah bekerja secara
nyata, setelah mengerti tak boleh lagi mengulur waktu”, kata-ku.
Dengan pelan-pelan ia berdiri, wajah-nya
yang pucat pasrah ter-sungging sebuah senyuman, tangan-nya yang kurus di-ulur-kan
men-jabat-ku, lalu pamitan.
Kira-kira 10 Hari kemudian, ku-terima
se-pucuk surat dari-nya, pada pokok-nya ia ber-Terimakasih atas petunjuk-ku,
hingga hati-nya terbuka. Ia mulai ber-keyakinan untuk hidup terus, ia pun mulai
memuja Buddha.
Berhubung dalam rumah tak mudah menyediakan Altar, dengan pikiran ia mem-bayang-kan
bentuk Buddha, meng-hormati-nya atau memuja pun dengan cara “Di batin” (sebab
kalau ber-olahraga atau gerak sedikit pun sudah sesak napas-nya).
Ku-ajar-kan pada-nya mem-baca Keng Liu Ce Ta Ming, ia hanya dapat mem-baca
dalam hati, ter-kadang cara ini pun menyesakkan napas-nya. Lalu dengan meng-guna-kan
daya imajinasi ia membentuk kata-kata Keng, dengan cara ini di-lakukan-nya se-dapat
mungkin. Padahal aku sangat mem-perihatin-kan-nya, sebab betapa pun ia berusaha
hanya mencapai hasil yang seminim ini, sedangkan dosa-nya sangat berat.
Sekejap mata se-tengah Tahun telah lewat, pada suatu hari ia mencari-ku
lagi, langkah-langkah-nya masih demikian lambat dan wajah-nya tetap pucat.
“Bagaimana? Ada-kah sedikit kemajuan ?”, tanya-ku dengan was-was.
Hanya gelengan kepala dengan alis di-kerut-kan, jelas ia agak frustasi.
Ku-pikir dosa-nya amat berat, sedangkan “Kebaikan” yang dapat di-selesai-kan
demikian sedikit, ini bagai-kan pisau kecil untuk menebang pohon besar, waktu
se-tengah Tahun pun tidak membawa hasil.
Lalu ku-anjur-kan agar ia tetap meneruskan kegiatan-nya dan mengajarkan-nya
ber-tobat serta ber-janji di-hadapan Buddha. Selama ini ia pun mem-baca
beberapa Buku Agama Buddha. Tahu-lah arti “Tobat” dan “Janji”.
Lalu ia pergi ke sebuah Vihara, ber-lutut di-hadapan Buddha dan
menyatakan Tobat-nya serta meng-ucap-kan janji : “Jika penyakit-ku bisa sembuh,
dengan sekuat tenaga-ku akan ku-sebar-luas-kan Ajaran Buddha”. Sejak itu ia
kian rajin mem-pelajari Dharma ( Ajaran Agama Buddha ).
Tak terasa beberapa Bulan telah lewat, aku jumpa lagi dengan-nya. Ia mem-beri-tahu-ku
bahwa sungguh pun penyakit-nya belum mem-baik, tetapi di-dapat-kan-nya bahwa
penyakit-nya selama se-tengah Tahun ini tidak mem-buruk, obat Sinshe pun ter-kadang
ada hasil-nya, ku-anjur-kan ia terus maju.
Dalam keadaan seperti ini, telah lewat lagi se-Tahun lebih, lambat laun
suara-nya telah dapat ter-dengar jelas, jalan nya pun lebih cepat, minum obat pun
lebih manjur. Kepercayaan-nya pun lebih kokoh, latihan pun di-per-giat.
Hari demi hari telah berlalu, beberapa Bulan kemudian ku ber-sua lagi
dengan-nya, ku-dapati wajah-nya lebih ber-sinar, mata-nya ada semangat, suara-nya
bila ber-bincang pun telah sama dengan Orang biasa.
Ia sendiri pun kian hari kian rajin, uang transportasi yang hanya
sedikit yang di-dapat dari Ayah dan Ibu-nya, sebagian besar di-per-guna-kan
untuk me-lepas-kan Makhluk hidup.
Teman-teman Kebaktian-nya melihat ia miskin, mereka dengan sukarela
menyokong biaya pengobatan-nya. Secara diam-diam di-per-guna-kan untuk me-lepas-kan
Makhluk hidup, kata-nya : “Obat boleh tidak ku-makan, namun Amal tak boleh ber-henti,
minum obat hanya-lah meng-obati lahir-nya, sedangkan ber-Amal untuk meng-obati Inti-nya”.
Ia dapat menyadari makna ini, benar-benar suatu kemajuan pesat.
Pada permulaan Tahun lalu, wajah-nya
mulai memerah, tubuh-nya pun agak gemuk, walaupun masih ber-obat, namun sudah
jauh lebih sehat. Sejak pertama aku melihat-nya hingga kini 4 Tahun telah
berlalu, ia tidak mati oleh karena mem-buruk-nya penyakit, se-balik-nya kian
sehat.
Kita ber-gembira untuk-nya dan meng-ucap-kan Syukur untuk-nya. Ia
sendiri pun selama 4 Tahun ini tiap hari tanpa putus-nya mem-baca Keng Buddha.
Tanpa Tekad dan Keyakinan yang kuat tak mungkin-lah semua hal itu tercapai.
Karunia kasih sayang Sang Buddha pun
harus di-dapat dengan Keyakinan yang kuat dan Tekad yang teguh. Semoga Cang Sew
Ming dapat segera me-wujud-kan janji-nya : “Ber-juang demi menyebar-luas-kan Ajaran
Buddha”.
* * * * * * * *
* *